Wednesday, July 3, 2013

1883, Krakatau dan Komet Bonilla: Kala Petaka Dahsyat Melintas Di Depan Mata

Apa yang dikenang manusia sedunia dalam bulan Agustus 1883?
Bagi hampir segenap umat manusia, Agustus 1883 selalu identik dengan Gunung Krakatau, gunung api yang terletak di Selat Sunda (Indonesia). Meski hanyalah gunung kecil mungil (tingginya tak sampai 1.000 meter dpl) yang muncul di tengah keluasan tepian Samudera Hindia, Krakatau menggetarkan dunia seiring letusan-letusan eksplosif yang dipancarkannya lewat tiga kerucut utamanya: Rakata, Danan dan Perbuwatan. Puncak letusannya pada 26 hingga 28 Agustus 1883 ditandai dengan ambruknya hampir seluruh tubuh gunung ke dalam laut seiring terbentuknya kaldera berdiameter 7 km lewat letusan-letusan dahsyat yang saling susul-menyusul setiap 10 menit sekali. Pembentukan kaldera dan masuknya massa material letusan (dalam bentuk awan panas) ke dalam laut memicu terbitnya tsunami demi tsunami yang unik. Sebab setiap tsunami memiliki kecepatan yang tergolong rendah (kurang dari 100 km/jam) sehingga hanya berdampak lokal pada kedua sisi Selat Sunda dan kawasan sekitarnya, namun ketinggiannya membikin jantung berdebar sebab rata-rata melebihi 10 meter.
Bahkan pada puncaknya terbentuk tsunami setinggi 37 meter (27 Agustus 1883 pukul 10:02) yang menerpa sisi timur Selat Sunda. Meski butuh waktu sejam untuk menjalar dari kawasan kaldera Krakatau hingga tiba di pesisir Merak, namun keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi masa itu membuat terjangan tsunami benar-benar mengagetkan penduduk setempat yang tak bersiap. Banjir air laut pun menggenang hingga sejauh 5 km dari garis pantai. Di tanah genting Semenanjung Ujung Kulon, banjir bah bahkan demikian luar biasa sehingga air mengalir menyusuri daratan sejak pesisir Selat Sunda hingga akhirnya kembali memasuki laut di perairan Samudera Hindia.
Gunung Krakatau, seminggu setelah aktivitas vulkaniknya dimulai pada Mei 1883. Letusan dalam gambar ini berasal dari puncak Perbuwatan. Selama tiga bulan kemudian letusan demi letusan dari ketiga puncak Krakatau kian intensif dengan puncaknya pada 26-28 Agustus 1883 yang menghancurkan hampir seluruh tubuh gunung menjadi kaldera 7 km.
Letusan katastrofik meremukkan hampir segenap pulau Krakatau menjadi abu dan mengambrukannya ke dasar laut seiring terbentuknya kaldera berkedalaman 250 meter dari permukaan laut, kecuali bagian kecil di sudut tenggaranya yang kini menjadi pulau Rakata. Letusan menyemburkan sedikitnya 20 kilometer kubik magma setara batuan dengan sekitar 40 % diantaranya disemburkan menjadi debu vulkanis hingga setinggi 40 km. Ambruknya tubuh gunung disertai hembusan debu dan gas dari dapur magmanya tak hanya menyebabkan terjadinya letusan vertikal yang membumbungkan debu vulkanis hingga sangat tinggi. Namun juga terjadi letusan horizontal (lateral), dimana debu vulkanis dan gas bersuhu sangat tinggi ditembakkan sebagai awan panas, yang melaju dengan kecepatan tinggi secara mendatar khususnya ke utara. Ketimbang (kini Katibung, kaki Gunung Rajabasa, Lampung) menjadi saksi betapa awan panas produk letusan horizontal Krakatau menderu hingga tiba di sini, setelah meluncur sejauh 40 km menyeberangi Selat Sunda. Sekitar 1.000 orang tewas terpanggang di sini. Namun lebih banyak lagi yang terbantai tsunami. Angka resmi yang dilansir pemerintah kolonial Hindia Belanda menyatakan letusan Krakatau menelan korban jiwa hingga 36.417 orang. Namun jumlah sesungguhnya diperkirakan lebih besar dari itu, bahkan ada dugaan korban jiwa letusan menyentuh angka 120.000 orang.
Komet Bonilla
http://astronesia.blogspot.com/
Salah satu bintik hitam aneh yang mengalami transit dengan Matahari seperti diabadikan Bonilla pada 12 Agustus 1883. Interpretasi modern menyarankan bintik-bintik hitam ini adalah keping-keping komet Bonilla yang nyaris saja menimbulkan petaka kosmik pada Bumi
Tetapi selain petaka letusan katastrofik Gunung Krakatau, Bumi pada Agustus 1883 sebenarnya juga nyaris berhadapan dengan petaka kosmik lainnya, yang datang dari langit. Dan berbeda dengan letusan Krakatau, petaka kosmik ini jutaan kali lipat lebih berenergi dan sanggup menghapus kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya di muka Bumi, andai benar-benar terjadi.
Dua minggu sebelum puncak letusan Krakatau, tepatnya pada Senin 12 Agustus 1883, Jose Bonilla (1853-1920) sedang melaksanakan tugas rutin hariannya di Observatorium negara Bagian Zacatecas (Meksiko) saat mata tajamnya menangkap sesuatu yang tak biasa. Sejak pukul 08:00 lokal mendadak terjadi antara benda langit tak dikenal dengan Matahari. Saat itu di latar depan cakram Matahari melintas sejumlah bintik hitam kecil dengan masing-masing bintik bergerak cukup cepat sehingga hanya melintas selama 1/3 hingga 1 detik. Dan masing-masing bintik terlihat berselimut kabut abu-abu yang asimetrik, karena lebih menonjol di satu sisinya. Bila latar belakangnya adalah cakram Matahari, bintik-bintik tersebut nampak gelap. Namun jika latar belakangnya adalah area gelap (selepas dari latar depan Matahari), maka bintik-bintik itu nampak bersinar terang. Secara akumulatif Bonilla mencatat 447 bintik hitam melintas di hari itu dengan jumlah rata-rata 131 bintik perjam. Beberapa diantaranya berhasil diabadikan dalam pelat fotografis, teknologi yang tergolong baru untuk masa itu, dengan bukaan rana 1/100 detik. Berselang 2,5 tahun kemudian tepatnya pada 1 Januari 1886, Bonilla menuliskan hasil pengamatannya pada majalah L’Astronomie, dimana bintik-bintik hitam misterius itu terakhir kali teramati pada 13 Agustus 1883 pukul 09:00 lokal.
Kalangan astronomi pada saat itu tak sanggup menyajikan penjelasan memuaskan tentang fenomena apakah yang teramati Bonilla. Sempat muncul dugaan bintik-bintik hitam itu hanyalah gangguan dalam pengamatan, yang disebabkan oleh migrasi kawanan burung yang terbang tinggi tepat di arah pandang teleskop. Ada juga yang menganggapnya akibat terbang melintasnya kawanan serangga dalam jumlah besar. Pun ada yang menganggapnya sebagai gangguan akibat debu-debu yang beterbangan hingga melintas tepat di arah pandang teleskop. Yang terpopuler adalah anggapan bahwa bintik-bintik hitam itu merupakan bukti eksistensi benda terbang tak dikenal (UFO).
Komet sebagai bintik terang (warna jingga-merah) berselimut kabut yang lebih redup (warna hijau dan biru) yang asimetrik, dalam hal ini adalah komet ISON yang akan melintas di dekat Bumi pada November 2013 mendatang. Penampakan bintik hitam serupa inilah yang dilihat Bonilla pada Agustus 1883.
Namun, 128 tahun kemudian muncul penjelasan berbeda yang sama sekali baru. Dengan mengacu dinamika yang terjadi pada komet khususnya tatkala menjalani tahap fragmentasi seperti yang misalnya dialami komet Schwassmann-Wachmann 3, maka bintik-bintik hitam tersebut kemungkinan besar merupakan komet besar yang terfargmentasi (terpecah-belah) menjadi ribuan keping akibat gaya eksternal. Dugaan sebagai kepingan-kepingan komet konsisten dengan karakteristik setiap bintik hitam, yang diliputi kabut abu-abu asimetrik. Kabut abu-abu tersebut merupakan ruang di sekitar suatu kepingan komet yang dipenuhi gas-gas ringan dan debu yang disemburkan dari permukaan kepingan komet sehingga membentuk atmosfer temporer yang berdebu, yang dikenal sebagai coma (kepala komet). Dan asimetri bentuk kabut abu-abu tersebut menunjukkan eksistensi ekor komet, yang memang berpangkal dari coma untuk kemudian melampar menjauhinya sesuai dengan tekanan angin Matahari yang mengarah padanya. Tidak berlebihan jika bintik-bintik hitam tersebut dinamakan sebagai komet Bonilla, sesuai dengan tata nama yang berlaku.
Fragmentasi
Keping-keping komet Bonilla merupakan produk fragmentasi massif pada komet induknya, hal yang umum terjadi sebagai akibat rapuhnya struktur inti komet dan adanya gaya eksternal yang mampu melebihi gaya ikat nan rapuh di antara molekul-molekul penyusun inti komet. Gaya eksternal itu berupa gravitasi Matahari/planet (khususnya jika komet memasuki orbit Rochhe-nya) dan tekanan angin/badai Matahari. Dalam 150 tahun terakhir kita telah mengamati lebih dari 40 buah komet yang terfragmentasi dengan beragam tingkat keparahan. Yang paling fenomenal adalah peristiwa fragmentasi komet Elenin akibat hantaman badai Matahari 20 Agustus 2011 hingga membuat komet yang sempat didesas-desuskan sebagai “komet kiamat” itu remuk seremuk-remuknya.
Analisis memperlihatkan keping-keping komet Bonilla itu melintas sangat dekat, yakni hanya sejauh maksimum 8.000 km saja dari permukaan Bumi. Dengan demikian perlintasan kepingan-kepingan komet itu jauh di bawah orbit Roche untuk obyek dengan densitas menyamai umumnya komet (yakni 0,95 g/cc). Sebagai konsekuensinya, jika kepingan-kepingan tersebut semula berasal dari sebuah komet induk, maka gaya gravitasi Bumi yang diderita sisi dekat komet induk (yakni bagian yang menghadap ke Bumi) dengan sisi jauhnya (yakni bagian yang membelakangi Bumi) memiliki selisih cukup besar hingga melampaui ambang batas gaya ikat antar molekul penyusun komet. Dengan demikian bila komet induk itu melintas-sangat dekat Bumi menjelang 12 Agustus 1883, maka ia bakal terpecah-belah menjadi kepingan demi kepingan. 
Selanjutnya jika kepingan-kepingan itu mengalami transit dengan Matahari, ia akan nampak sebagai bintik-bintik hitam berselimut kabut yang melintas di latar depan Matahari.  Tetapi dengan tiada teramatinya komet yang sangat terang hingga melebihi terangnya Venus (tepatnya dengan magnitudo semu antara 0 hingga -5) menjelang 12 Agustus 1883 itu, maka fragmentasi komet induk tidak terjadi di dekat Bumi.
Fragmen B dari komet Schwassmann-Wachmann 3, diabadikan teleskop landas-bumi Hubble pada 2006. Jika observasi berbasis teleskop sederhana dari permukaan Bumi hanya mengungkap adanya satu fragmen B, Hubble memperlihatkan di sekitar fragmen B (yakni fragmen yang paling terang) terdapat setidaknya 73 buah fragmen lainnya yang berukuran lebih kecil dan lebih redup.
Tiap keping komet Bonilla memiliki panjang 68 hingga 1.022 meter, lebar 46 hingga 795 meter dan estimasi massa antara 0,56 hingga 2.500 juta ton, yang membuat tiap keping berukuran nyaris sama dengan sebongkah bukit. Jika albedonya 0,08 maka tiap keping komet Bonilla memiliki magnitudo absolut sebesar 17 hingga 23. Saat tepat hendak mengalami transit dengan Matahari, tiap keping komet itu memiliki magnitudo semu antara +3,6 hingga +9,7 (dengan asumsi sudut fase 165 derajat). Meski mata manusia mampu mendeteksi benda-benda langit redup dengan batas maksimum magnitudo semu +6, namun dengan benderangnya bagian langit di sekitar Matahari (tempat dimana keping-keping komet Bonilla berada)  membuat tak satupun dari keping-keping komet yang bisa dideteksi sebelumnya meski lewat teleskop. Hanya transit dengan Matahari-lah yang membuat keping-keping komet terdeteksi.
Dengan jumlah rata-rata 131 keping komet per jamnya yang terdeteksi dan transit berlangsung selama 25 jam penuh, maka ada sedikitnya 3.275 buah keping komet Bonilla yang melintas. Jika massa debu produk fragmentasi tak diperhitungkan, maka keping-keping itu berasal dari sebuah komet induk yang memiliki massa 1,8 hingga 8.200 milyar ton dengan perkiraan diameter 1,5 hingga 25 km (asumsi berbentuk bola sempurna) dan magnitudo absolut 11 hingga 17.
Di Depan Mata
Apa yang mendirikan bulu kuduk dari peristiwa transit keping-keping komet Bonilla dengan Matahari adalah betapa dekatnya keping-keping itu dengan Bumi. Analisis menunjukkan keping-keping komet itu melintas hanya sejauh 538 hingga 8.062 km dari permukaan Bumi. Dengan demikian keping-keping komet melintas di kawasan orbit satelit-satelit buatan berorbit menengah hingga geosinkron/geostasioner. Peristiwa ini hanya bisa disebandingkan dengan kejadian perlintasan-dekat asteroid 2011 CQ1 (diameter 1 meter) pada 5 Februari 2011 silam (sejauh 5.480 km saja dari permukaan Bumi). Perlintasan sangat-dekat keping-keping komet Bonilla jelas menghadirkan ancaman petaka kosmik bagi Bumi.
Andaikata keping-keping tersebut tidak sekedar melintas-sangat dekat melainkan bertumbukan dengan Bumi, akibatnya sangat serius. Saat memasuki atmosfer Bumi, komet memiliki rentang kecepatan sangat tinggi yakni 15 hingga 70 km/detik. Dengan asumsi kecepatan keping-keping itu adalah 15 km/detik, maka tumbukan setiap keping dengan Bumi akan melepaskan energi 15 hingga 67.200 megaton TNT, setara dengan 750 butir hingga 3,36 juta butir bom nuklir Hiroshima yang diledakkan secara serempak. Jika seluruh keping jatuh ke Bumi, maka secara akumulatif energi tumbukannya mencapai 0,05 hingga 240 juta megaton TNT, sebuah tingkat energi yang sangat tinggi dan hanya bisa disetarakan dengan peristiwa-peristiwa pemusnahan massal seperti lenyapnya dinosaurus 65 juta tahun silam.
Jejak tumbukan fragmen-fragmen komet Shoemaker-Levy 9 dengan Jupiter pada 1994 silam, nampak terkonsentrasi di sekitar garis lintang tertentu di hemisfer selatan Jupiter
Tumbukan keping-keping komet Bonilla dengan permukaan Bumi akan terjadi pada berbagai titik dalam satu garis lintang yang sama, menyamai peristiwa tumbukan komet Shoemaker-Levy 9 dengan planet Jupiter pada 17-24 Juli 1994 silam. Jika dibandingkan dengan letusan katastrofik Gunung Krakatau yang melepaskan energi minimal 200 megaton TNT, maka energi yang dilepaskan dalam tumbukan keping-keping komet Bonilla dengan Bumi mencapai 268 kali hingga 1,2 juta kali lipat lebih dahsyat. Sehingga, di tengah parahnya situasi Selat Sunda dan sekitarnya akibat letusan katastrofik Gunung Krakatau, pada saat yang sama Bumi sedang bernafas lega karena baru saja terhindar dari petaka kosmik lainnya yang skalanya jauh lebih besar.

0 komentar:

Post a Comment